Di umur yang akan mencapai seperempat abad, banyak teman-teman sebayaku memutuskan untuk menikah. Awalnya bikin iri memang. Bahkan sudah jadi obrolan untuk mereka yg menekan pacarnya buat segera menikah atau yang jomblo-jomblo ngebet mencari pasangan. Tapi tidak sedikit juga di antaranya masih ragu menikahi pasangannya meski sudah berpacaran. Kalau sudah di tongkrongan pasti topiknya, "kapan lo siap nikah?" atau "jomblo mulu lo, mau gue kenalin cewek ga?" atau "akhirnya match juga gue, tapi bukan tipe gue sih jadi mager mau chat duluan". Memang terdengar klise tapi aku punya caraku sendiri menghadapinya.
Aku bahagia untuk teman-temanku yang telah memantapkan diri untuk menikah. Bagiku itu adalah bentuk kedewasaan darinya untuk berani ke tahap hidup selanjutnya bersama. Tidak hanya siap materi tapi juga siap mental karena aku tahu hidup menopang sebuah keluarga tidaklah mudah.
Pasangan itu bisa yang paling banyak samaan, bisa juga saling bertolak belakang. Namun dua hal tersebut punya tujuan akhir yg sama, yaitu mampu sama-sama saling percaya dengan komitmennya. Siapakah itu yang bisa jadi pasangan entah yang sudah bertahun-tahun kenal lama atau yang hanya sebulan baru kenal, menurutku masih menjadi misteri bagaimana prosesnya. Dan jawabannya mungkin baru bisa didapat setelah puluhan tahun menjalani kebahagiaan dan kesulitan bersama. Aku sendiri jadi lebih banyak belajar dari curahan hati ibuku hidup bersama semasa ayah masih ada dari awal berkenalan hingga beliau menemani nafas terakhir ayah di ICU. Mungkin ceritanya hampir sama dengan film HabibieAinun dengan pengurangan romantisasi karena menikah tidak hanya soal romantika saja.
Bagiku yang memiliki tugas menjadi pengganti kepala keluarga setelah almarhum ayah tiada, aku bisa memahami mereka yang memutuskan untuk menjalani tahap kehidupan selanjutnya dari sulit dan bahagianya seperti apa. Aku sendiri yang harus menjadi panutan adik-adikku, menjadi penenang dan pencari solusi bagi ibuku ketika sedang butuh bantuan, dan mampu memimpin keluarga saat ini memiliki nilai tantangan dengan teman-teman pria yang baru menikah yaitu menjadi kepala keluarga.
Hanya saja mungkin perbedaan level antara aku dan teman-temanku yang sudah menikah adalah besar tanggung jawabnya. Aku sekarang masih bertanggung jawab atas keluarga yg ditinggalkan ayah sedangkan mereka yang sudah menikah jelas memiliki tanggung jawab menafkahi istri, anak-anak, dan keluarga kandung dari kedua orang tuanya. Sekarang mungkin dikenal dengan istilah "generasi sandwich" dan banyak orang menjadikan hal itu penyebab tekanan psikologisnya. Namun dalam keyakinan islam hal ini adalah mutlak karena berbakti pada orang tua adalah kewajiban laki-laki sampai akhir hayatnya. Oleh karena itu, wahai para perempuan janganlah cemburu pada suaminya karena lebih perhatian pada ibu dan bapaknya. Seperti lirik lagu "Kasih ibu kepada beta. Tak terhingga sepanjang masa" harus dibalas juga dengan bakti sepanjang hidupnya.
Meski aku sendiri belum mencapai level setinggi itu, aku masih berharap tugasku saat ini bisa kubarengi dengan siap membina rumah tangga baru yang kupilih. Mengikat diri pada orang lain pasti ada pasang surutnya. Tinggal bagaimana iman, hati, dan tanggung jawab kita menjalaninya. Menikah bukan hanya soal status, melainkan soal bagaimana bisa bekerja sama hingga tongkat yang menopang tubuh kita.
Aku perlu belajar, aku masih berproses, dan aku bahagia.
-jwr
Minggu, 28 Februari 2021
Komentar
Posting Komentar
Terima kasih sudah memberi respon setelah membaca :)